thejrp.org – Pada awal tahun 2020, publik Indonesia dikejutkan oleh kasus yang melibatkan Harun Masiku, seorang kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP. Kasus ini menjadi sorotan karena KPK gagal menangkap Harun Masiku dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Kasus ini berawal dari dugaan suap yang melibatkan Harun Masiku. Dia diduga memberikan suap kepada anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memuluskan jalannya menjadi anggota legislatif melalui jalur pergantian antarwaktu (PAW). Dalam operasi tersebut, KPK berhasil menangkap beberapa tersangka, termasuk Komisioner KPU Wahyu Setiawan, tetapi Harun Masiku berhasil menghilang.
Setelah operasi, Harun Masiku menjadi buronan. Awalnya, pihak imigrasi menyebut Harun telah meninggalkan Indonesia menuju Singapura. Namun, kemudian terungkap bahwa Harun sebenarnya sudah kembali ke Indonesia sebelum KPK melakukan operasi. Temuan ini memicu spekulasi tentang kebocoran informasi atau kemungkinan adanya perlindungan terhadap Harun.
Peran Hasto Kristiyanto
Sebagai Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto juga terlibat dalam pusaran kasus ini. Meskipun tidak ada bukti langsung yang mengaitkan Hasto dengan tindakan suap, saksi menyebut namanya dalam beberapa keterangan. Keterlibatan petinggi partai ini menambah dimensi politis dalam kasus tersebut, dan menimbulkan pertanyaan mengenai praktek politik yang bersih di Indonesia.
Gagalnya OTT KPK ini menjadi pukulan bagi lembaga antirasuah tersebut, terutama setelah revisi Undang-Undang KPK yang dianggap melemahkan kinerja mereka. Kasus medusa88 ini juga menyoroti tantangan besar dalam penegakan hukum di Indonesia, di mana tekanan politik dan kekuasaan dapat mempengaruhi proses hukum.
Hingga kini, Harun Masiku masih menjadi buronan, dan keberadaannya tidak diketahui. Kasus ini menyisakan banyak pertanyaan dan menunjukkan betapa rumitnya pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama ketika melibatkan tokoh politik penting.